Senin, 27 Mei 2013

Efisiensi Produksi Susu Sapi Fresien Holstein Akibat Penambahan Tepung Katu (Sauropus androgynus, L. Merr) Dalam Ransum.


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.            Latar Belakang
Manusia memerlukan bahan pakan untuk menunjang kelangsungan hidunya, termasuk dalam pemenuhan protein. Untuk mencukupi kebutuhan nutrisi tubuhnya, manusia menggunakan susu yang berasal dari hewan. Oleh karena itu, definisi susu yang saat ini dikenal masyarakat pada umumnya adalah cairan bergizi tinggi berasal dari hewan yang mempunyai kelenjar susu, yang terdapat pada ambing susu hewan betina.
Berdasarkan kandungan lemak yang terdapat di dalamnya, produk susu dapat dibedakan menjadi beberapa tipe yaitu susu murni (whole milk), susu kurang lemak (reduced fat milk), susu rendah lemak (low fat milk), dan susu bebas lemak (free-fat Milk) atau susu skim (skim milk). Susu murni harus mengandung sekurang-kurangnya 3,25% dari lemak susu dan 8,25% padatan susu bukan lemak (protein, karbohidrat, vitamin larut air, dan mineral). Penambahan vitamin A dan D pada susu ini bersifat fakultatif.
Susu kurang lemak banyak dipilih orang orang-orang yang ingin mengurangi konsumsi lemak di dalam susu. Sesuai dengan namanya, kadar lemak pada susu ini telah dikurangi hingga tersisa 2%. Untuk konsumen yang menginginkan konsumsi lemak lebih sedikit lagi, diciptakanlah susu rendah lemak. Kadar lemak pada susu ini telah dikurangi hingga tersisa 1%. Pada susu skim, kadar lemaknya dikurangi hingga hampir tidak ada sama sekali (0,1%), namun residu dari lemak susunya boleh tersisa hingga maksimum 0,5%. Karena vitamin A dan D yang larut dalam lemak ikut hilang pada proses penghilangan lemak, pada susu kurang lemak, susu rendah lemak, dan susu skim umumnya ditambahkan kedua vitamin tersebut.

1.2.            Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai syarat dan tugas Ujian Tengah Semester (UTS). Manfaat dari makalah ini adalah untuk mengetahui seberapa besar kandungan protein pada susu sapi Fresein Holstein dengan pemberian tepung katu atau (Sauropus androgynus).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Susu berperan penting dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi masyarakat Indonesia. Permintaan susu dari waktu ke waktu semakin meningkat, hal ini terjadi karena jumlah penduduk yang terus meningkat dan pendapatan masyarakat juga meningkat. Produksi susu secara nasional belum dapat mencukupi kebutuhan susu dalam negeri karena permintaan susu secara nasional dari segi kuantitas mungkin dapat terpenuhi tetapi secara kualitas belum dapat memenuhi keinginan produsen susu dan konsumen, sehingga produksi susu dalam negeri baru dapat diterima sebanyak 40 % sedangkan 60 % lainnya dipenuhi dari susu impor. Ketidakmampuan dalam memenuhi permintaan susu tersebut dikarenakanproduktivitas sapi perah Indonesia rata-rata masih rendah baik secara kuantitas maupun kualitas.
Peningkatan produktivitas sapi perah dapat diperoleh dengan cara melakukan suatu terobosan, diantaranya dengan cara memberikan daun katu (Sauropus androgynus (L.) Merr) yang telah dikenal dapat meningkatkan produksi susu ibu. Daun katu dipandang sebagai pakan suplemen atau pakan tambahan yang diharapkan dapat memberikan dampak positif untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas susu sapi perah. Pemberian katu dalam bentuk bubuk dan ekstrak dapat meningkatkan produksi susu pada domba betina (Suprayogi, 2000). Sampai saat ini belum ada bukti yang melaporkan bahwa pemberian daun katu pada sapi perah dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas susu, sehingga perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui hal ini.
Katu mengandung zat kimia oxocyclopenthyl yang berperan dalammerangsang aktivitas metabolic dan pertumbuhan mikroba rumen. Jika jumlah mikroba rumen meningkat, maka fermentasi pakan juga lebih optimal sehingga “Volatile Fatty Acids” (VFA) yang dihasilkan juga meningkat. VFA terdiri dari asam asetat, asam propionate dan asam butirat. Salah satuproduk VFA adalah asam propionate yang selanjutnya setelah proses gluko-neogenesis di hati akan terbentuk glukosa yang akan dibawa darah ke ambing. Glukosa tersebut merupakan prekursor laktosa susu. Laktosa di dalam susu berfungsi untuk mengikat air. VFA yang dihasilkan meningkat maka laktosa susu juga meningkat, sehingga produksi susu yang dihasilkan juga meningkat. Jadi pemberian katu dapat memberikan dampak positif untuk meningkatkan konsumsi bahan kering ransum dan protein susu.
BAB III
METEODOLOGI
3.1 Materi
            Pakan yang digunakan hijauan jerami jagung segar, umur 50 hari dan konsentrat yang terdiri dari bekatul, bungkil kelapa sawit, wijen, gluten, kulit kopi, BR (sisa pakan ayam), kalsit, premix dan garam. Perbandingan bahan kering hijauan dan konsentrat yaitu 40:60.
3.2 Metode    
Katu diberikan dalam bentuk serbuk. Dibuat dari daun katu yang dikeringkan di dalam oven selama 36 jam dengan suhu 600C, kemudian dihaluskan dengan blender. Sapi perah sebanyak 12 ekor secara acak dengan pola rancangan acak lengkap, terdiri dua perlakuan dan satu kontrol yang masing-masing diulang empat kali. Semua sapi diberi ransum yang sama yaitu hijauan dan konsentrat. Banyaknya ransum dihitung berdasarkan bahan kering sebanyak 2,5% dari bobot badan masing-masing sapi. Dan pemberian katu dihitung berdasarkan presentase dari bobot badan sapi.
BAB IV
PEMBAHASAN
Komposisi susu sangat beragam, bergantung pada beberapa faktor, antara lain bangsa sapi, tingkat laktasi, pakan, interval pemerahan, suhu, dan umur sapi. Umumnya mengandung air 87,1%, lemak 3,9 %, protein 3,4%, laktosa 4,8%, abu 0,7% dan beberapa vitamin yang larut dalam lemak susu, yaitu vitamin A, D, E, K. Susu harus memenuhi syarat-syarat kesehatan dan kebersihan, karena susu merupakan media yang paling baik bagi pertumbuhan mikroba. Susu juga mudah pecah dan rusak bila penanganannya kurang baik, serta masa simpannya relatif singkat. Untuk menangani masalah tersebut, maka langkah yang paling tepat adalah dengan mengawetkan susu untuk memperpanjang masa simpannya.
Kerapatan susu bervariasi antara 1,0260-1,0320 pada suhu 200C. Adanya perbedaan kerapatan pada masing-masing susu disebabkan karena perbedaan kandungan lemak dan zat-zat padat bukan lemak yang ada di dalam susu. Derajat keasaman (pH) susu segar berada diantara pH 6,6-6,8 biasanya hal ini pH susu akan menurun. Apabila pH susu diatas pH 6,6-6,8 biasanya hal ini disebabkan karena adanya penyakit pada sapi yang menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan mineral di dalam susu.
Susu normal berwarna putih kekuningan, variasi warna pada susu disebabkan karena adanya perbedaan pakan yang diberikan pada sapi dan karena faktor keturunan. Cita rasa agak manis pada susu berasal dari laktosa, sedangkan rasa asin dari klorida. Pengumpulan merupakan sifat paling khas pada susu biasanya disebabkan karena kerja enzim proteolitik.
Denaturasi merupakan suatu perubahan atau modifikasi terhadap struktur sekunder, tersier, dan kuartener terhadap molekul protein, tanpa terjadinya pemecahan ikatan kovalen. Suatu protein dikatakan terdenaturasi apabila susunan ruang atau rantai polipeptida suatu molekul protein mengalami perubahan. Ada dua macam denaturasi yaitu : pengembangan rantai peptida dan pemecahan protein menjadi unit yang lebih kecil tanpa disertai pengembangan molekul.
Lemak merupakan komponen susu yang penting seperti halnya protein. Lemak terdapat di dalam susu dalam bentuk butiran lemak. Biasanya terdapat kira-kira 1000x106 butiran lemakdalam setiap ml susu. Keadaan lemak ini menyebabkan susu mudah dan cepat menyerap flavor asing. Kira-kira 98-99% dari lemak susu yang terbentuk trigleserida, dimana tiga molekul asam lemak diesterifikasi terhadap gliserol. Monogliserida terdiri dari satu atau dua asam lemak yang dihubungkan pada gliserol dan jumlahnya didalam susu dapat mencapai kira-kira 0,5% digliserida dan 0,04% monogliserida. Sekurang-kurangnya 50 macam asam lemak yang berbeda telah ditemukan dalam lemak susu dimana 6—75% bersifat jenuh, 25-30% tidak jenuh, dan sekitar 4% asam lemak polyunsatured. Asam lemak yang terdapat paling banyak adalah miristat (C14), palmitat (C16), dan steatat (C18). Sedangkan asam lemak tak jenuh yang utama adalah oleat (C18) linoleat (C6) juga terdapat dalam jumlah kecil sebagai triligserida. Kerusakan terjadi pada lemak susu merupakan penyebab dari berbagai perkembangan flavour yang menyimpang dalam produk-produk susu.
Rata-rata kandungan protein susu sapi penelitian antara perlakuan t0, t1 dan t2 masing-masing sebesar 0,214; 0,267 dan 0,292 kg L-1. Selisih rata-rata kandungan protein susu antara t0 dengan t1 sebesar 0,053 kg, antara t0 dengan t2 sebesar 0,078 kg dan antara t1 dengan t2 sebesar 0,025 kg. Kandungan protein susu yang tidak berbeda nyata ini disebabkan oleh pemberian katu pada level 0,03 dan 0,05 % BB belum mampu memberikan kontribusi yang cukup terhadap peningkatan komposisi zat gizi ransum terutama konsumsi protein kasar (PK) ransum sehingga respon semua perlakuan terhadap kandungan protein susu juga relatif sama. Rata-rata konsumsi PK ransum yang diujicobakan untuk perlakuan t0, t1 dan t2 relatif sama yaitu 1,36; 1,44 dan 1,58 kg per ekor per hari. Protein ransum yang dikonsumsi sapi perah tersebut diduga di dalam rumen dipecah menjadi protein murni dan Non Protein Nitrogen (NPN).
Protein murni secara hitungan pada perlakuan t0, t1 dan t2 yaitu 1,66; 1,22 dan 1,34 kg per ekor per hari. Protein murni yang diekskresi melalui feses dan urin pada perlakuan t0, t1 dan t2 sebesar 0,59; 0,74 dan 0,59 kg per ekor per hari. Protein murni yang dihasilkan dari PK ransum yang dikonsumsi apabila dikurangi oleh protein murni yang diekskresi melalui feses dan urin, maka akan diperoleh retensi protein pada perlakuan t0, t1 dan t2 sebesar 0,57; 0,48 dan 0,75 kg per ekor per hari. Konsumsi PK ransum antar sapi perlakuan telah menyebabkan terjadinya retensi protein sehingga dapat dikatakan bahwa sapi antar perlakuan telah terpenuhi kebutuhannya. Adanya retensi protein dalam tubuh ternak mengindikasikan bahwa ternak tersebut telah tercukupi kebutuhan proteinnya (Macrae dan Reeds, 1980). Meningkatnya retensi protein disebabkan karena konsumsi protein yang lebih dari kebutuhan (Boorman, 1980). Sapi yang sedang laktasi akan selalu mensekresikan protein susu sehingga sekresi ini akan mempengaruhi atau membatasi peningkatan jaringan tubuh sebagai retensi protein netto (Macrae dan Reeds, 1980). Protein yang teretensi di dalam tubuh sapi perah akan digunakan untuk produksi susu dan pertumbuhan jaringan tubuh (Boorman, 1980). Besarnya retensi protein juga dipengaruhi oleh sintesis susu (Oldham, 1994).
Katu (Sauropus androgynus) bisa dijadikan alternatif sebagai suplemen ransum dalam rangka meningkatkan produktivitas susu sapi perah. Katu mengandung beberapa zat kimia, antara lain : asam 17-ketosteroid androstan 17 one 3-ethyl-hydroxy-5 alpha (androstan) yang berfungsi untuk pembentukan hormon estrogen yang berperan dalam pemnajangan sistem saluran, hormon progesteron berfungsi untuk meningkatkan (pembentukan) jumlah percabangan sistem saluran. Dan hormon laktogen plasenta berperan untuk meningkatkan jumlah sel epitel. Kandungan kimia lain katu adalah asam 3-4 dimethyl-2-oxocyclopenthyl 3-enylacetate yang berperan dalam meningkatkan kinerja mikroba rumen sehingga dapat meningkatkan VFA. Dengan meningkatnya VFA maka asam asetat, asam propionat dan asam bitirat akan meningkat pula. Asam butirat dan asam asetat digunakan sebagai bahan sintesis susu dan asam propionat pada proses gluconeogenesis di hati akan diubah menjadi glukosa, dan glukosa akan diubah menjadi laktosa susu yang akan mengikat air didalam susu, sehingga produksi susu juga bisa meningkat.
Pada ransum memberikan pengaruh yang nyata terhadap perkembangan mokroba cairan rumen sapi laktasi dan ada perbedaan yang nyata antar rata-rata perlakuan. Rendahnya rata-rata perlakuan disebabkan pemberian katu dengan kadar 0,04% BB diduga zat anti bakteri yang terkandung didalam katu sudah meracuni mikroba tertentu yang ada, hal ini sesuai hasil penelitian santoso et al. (2001), bahwa katu mengandung senyawa anti bakteri. Seperti dikatakan Piliang dan Djojosoebagio (1991) bahwa nilai biologis protein merupakan indeks kualitas protein yang berasal dari makanan, mencerminkan presentase protein yang diabsorbsi, semakin besar perbandingan protein yang tinggal dalam tubuh makin besar nilai biologis atau kualitas protein, yang berarti kemanfaatan protein yang terserap lebih tinggi.
Efisiensi produksi susu merupakan perbandingan antara energi yang terkandung dalam susu dengan energi yang terkandung didalam pakan. Rendahnya efisiensi produksi juga diduga disebabkan oleh rendahnya energi yang terkandung di dalam susu. Rendahnya energi yang terkandung didalam susu disebabkan rendahnya kandungan lemak susu, sebab lemak merupakan suatu senyawa yang mengandung energi cukup tinggi.
Efisiensi produk diukur dengan membandingkan produksi energi dalam susu dengan kebutuhan energi dalam susu dengan kebutuhan energi pakan. Semakin tinggi nilai perbandingan tersebut menunjukkan semakin tinggi efisiensi produksi dari ternak yang bersangkutan. Maka dari itu efisiensi produksi menjadi penting sebab sebuah teknologi akan layak diterapkan kalau tingkat efisiensinya memadai. Dikatakan lebih lanjut bahwa efisiensi produksi sapi perah berkisar 28-34%.
Faktor lain yang mempengaruhi rendahnya efisiensi produksi adalah faktor iklim tropis yang lebih panas, dimana iklim sangat besar pengaruhnya terhadap sistem metabolisme tubuh dalam metabolisme substrat pakan menjadi produksi susu. Di daerah tropis ternak justru lebih banyak kehilangan energi metabolisme tubuh yang hanya digunakan untuk mempertahankan sistem heat increament yakni untuk menyesuaikan temperatur tubuh dengan lingkungan yang selalu berubah ubah, yang sebenarnya energi tersebut dapat dimanfaatkan atau dikonversi untuk menambah produksi air susu (Blakely dan Bade, 1994).
BAB V
PENUTUP
4.1       Kesimpulan
Pemberian tepung katu atau (Sauropus androgynus (L.) Merr sampai taraf 0,05 % dari bobot badan sapi perah Friesian Holstein dengan kriteria tahun laktasi kedua, bulan laktasi keenam dengan bobot badan rata-rata 436±48,67 kg serta rata-rata produksi susu 8,86±1,20 liter tidak mempengaruhi konsumsi bahan kering ransum dan kandungan protein susu. Pada penambahan katu dengan aras berbeda sampai dengan 0,04% BB pada ransum sapi laktasi dapat meningkatkan efektivitas kinerja mikroba rumen, tetapi tidak mempengaruhi efisiensi penggunaan pakan untuk meningkatkan efisiensi produksi susu.
DAFTAR PUSTAKA
Arora SP (1989) Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Diterjemahkan: Murwani R. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Bondi AA (1987) Animal Nutrition. John Wiley & Sons, Chichester.
Boorman KN (1980) Dietary Constrains on Nitrogen Retention Dalam: Buttery PJ, Lindsay DB (Ed.) Protein Deposition in Animals. Butterworths, London.
Hanafiah KA (1994) Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. PT. Raja Gramafindo Persada, Jakarta.
Macrae JC, Reeds PJ (1980) Prediction of Protein Deposition in Ruminant Dalam: P.J. Buttery dan D.B. Lindsay (Ed.) Protein Deposition in Animals. Butterworths, London.
Oldham JD (1994) Amino Acid Nutrition of The Dairy Cow Dalam: D’Mello JPF (Ed.) Amino Acid in Farm Animal Nutrition. CAB International, London.
Parakkasi A (1999) Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Santosa SO, Hasanah M, Yuliani S, Setiawati A, Mariana Y, Handoko T, Risfaheri, Anggraeni, Suprayogi A, Kusumorini N, Winarno W (1997) Production of medicine product from katuk’s leaves (Sauropus androgynus (L) Merr) to increase the secretion and quality of breast milk. Integrated Priorities Research.
Soebarinoto S, Chuzaemi, Mashudi (1991) Ilmu Gizi Ruminansia. Universitas Brawijaya, Malang.
Suprayogi A (2000) Studies on The Biological Effect of Sauropus androgynus (L) Merr: Effect on Milk Production and The Possibilities of Induced Pulmonary Disorder on Lactating Sheep. Disertasi. Cuvilier Verlag, Göttingen.