BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Manusia memerlukan bahan pakan untuk menunjang
kelangsungan hidunya, termasuk dalam pemenuhan protein. Untuk mencukupi
kebutuhan nutrisi tubuhnya, manusia menggunakan susu yang berasal dari hewan.
Oleh karena itu, definisi susu yang saat ini dikenal masyarakat pada umumnya
adalah cairan bergizi tinggi berasal dari hewan yang mempunyai kelenjar susu,
yang terdapat pada ambing susu hewan betina.
Berdasarkan
kandungan lemak yang terdapat di dalamnya, produk susu dapat dibedakan menjadi
beberapa tipe yaitu susu murni (whole milk), susu kurang lemak (reduced
fat milk), susu rendah lemak (low fat milk), dan susu bebas lemak (free-fat
Milk) atau susu skim (skim milk). Susu murni harus
mengandung sekurang-kurangnya 3,25% dari lemak susu dan 8,25% padatan susu
bukan lemak (protein, karbohidrat, vitamin larut air, dan mineral). Penambahan
vitamin A dan D pada susu ini bersifat fakultatif.
Susu kurang
lemak banyak dipilih orang orang-orang yang ingin mengurangi konsumsi lemak di
dalam susu. Sesuai dengan namanya, kadar lemak pada susu ini telah dikurangi
hingga tersisa 2%. Untuk konsumen yang menginginkan konsumsi lemak lebih
sedikit lagi, diciptakanlah susu rendah lemak. Kadar lemak pada susu ini telah
dikurangi hingga tersisa 1%. Pada susu skim, kadar lemaknya dikurangi hingga
hampir tidak ada sama sekali (0,1%), namun residu dari lemak susunya boleh
tersisa hingga maksimum 0,5%. Karena vitamin A dan D yang larut dalam lemak
ikut hilang pada proses penghilangan lemak, pada susu kurang lemak, susu rendah
lemak, dan susu skim umumnya ditambahkan kedua vitamin tersebut.
1.2.
Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai
syarat dan tugas Ujian Tengah Semester (UTS). Manfaat dari makalah ini adalah
untuk mengetahui seberapa besar kandungan protein pada susu sapi Fresein
Holstein dengan pemberian tepung katu atau (Sauropus
androgynus).
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
Susu berperan
penting dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi masyarakat Indonesia.
Permintaan susu dari waktu ke waktu semakin meningkat, hal ini terjadi karena
jumlah penduduk yang terus meningkat dan pendapatan masyarakat juga meningkat.
Produksi susu secara nasional belum dapat mencukupi kebutuhan susu dalam negeri
karena permintaan susu secara nasional dari segi kuantitas mungkin dapat
terpenuhi tetapi secara kualitas belum dapat memenuhi keinginan produsen susu
dan konsumen, sehingga produksi susu dalam negeri baru dapat diterima sebanyak
40 % sedangkan 60 % lainnya dipenuhi dari susu impor. Ketidakmampuan dalam
memenuhi permintaan susu tersebut dikarenakanproduktivitas sapi perah Indonesia
rata-rata masih rendah baik secara kuantitas maupun kualitas.
Peningkatan
produktivitas sapi perah dapat diperoleh dengan cara melakukan suatu terobosan,
diantaranya dengan cara memberikan daun katu (Sauropus androgynus (L.) Merr)
yang telah dikenal dapat meningkatkan produksi susu ibu. Daun katu dipandang
sebagai pakan suplemen atau pakan tambahan yang diharapkan dapat memberikan
dampak positif untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas susu sapi perah.
Pemberian katu dalam bentuk bubuk dan ekstrak dapat meningkatkan produksi susu
pada domba betina (Suprayogi, 2000). Sampai saat ini belum ada bukti yang
melaporkan bahwa pemberian daun katu pada sapi perah dapat meningkatkan
kuantitas dan kualitas susu, sehingga perlu dilakukan suatu penelitian untuk
mengetahui hal ini.
Katu mengandung
zat kimia oxocyclopenthyl yang berperan dalammerangsang aktivitas metabolic dan
pertumbuhan mikroba rumen. Jika jumlah mikroba rumen meningkat, maka fermentasi
pakan juga lebih optimal sehingga “Volatile Fatty Acids” (VFA) yang dihasilkan
juga meningkat. VFA terdiri dari asam asetat, asam propionate dan asam butirat.
Salah satuproduk VFA adalah asam propionate yang selanjutnya setelah proses
gluko-neogenesis di hati akan terbentuk glukosa yang akan dibawa darah ke
ambing. Glukosa tersebut merupakan prekursor laktosa susu. Laktosa di dalam
susu berfungsi untuk mengikat air. VFA yang dihasilkan meningkat maka laktosa
susu juga meningkat, sehingga produksi susu yang dihasilkan juga meningkat.
Jadi pemberian katu dapat memberikan dampak positif untuk meningkatkan konsumsi
bahan
kering ransum dan protein susu.
BAB III
METEODOLOGI
3.1 Materi
Pakan yang digunakan hijauan jerami
jagung segar, umur 50 hari dan konsentrat yang terdiri dari bekatul, bungkil
kelapa sawit, wijen, gluten, kulit kopi, BR (sisa pakan ayam), kalsit, premix
dan garam. Perbandingan bahan kering hijauan dan konsentrat yaitu 40:60.
3.2 Metode
Katu diberikan dalam bentuk serbuk. Dibuat dari daun
katu yang dikeringkan di dalam oven selama 36 jam dengan suhu 600C,
kemudian dihaluskan dengan blender. Sapi perah sebanyak 12 ekor secara acak
dengan pola rancangan acak lengkap, terdiri dua perlakuan dan satu kontrol yang
masing-masing diulang empat kali. Semua sapi diberi ransum yang sama yaitu
hijauan dan konsentrat. Banyaknya ransum dihitung berdasarkan bahan kering
sebanyak 2,5% dari bobot badan masing-masing sapi. Dan pemberian katu dihitung
berdasarkan presentase dari bobot badan sapi.
BAB IV
PEMBAHASAN
Komposisi susu sangat beragam, bergantung pada
beberapa faktor, antara lain bangsa sapi, tingkat laktasi, pakan, interval
pemerahan, suhu, dan umur sapi. Umumnya mengandung air 87,1%, lemak 3,9 %,
protein 3,4%, laktosa 4,8%, abu 0,7% dan beberapa vitamin yang larut dalam
lemak susu, yaitu vitamin A, D, E, K. Susu harus memenuhi syarat-syarat
kesehatan dan kebersihan, karena susu merupakan media yang paling baik bagi
pertumbuhan mikroba. Susu juga mudah pecah dan rusak bila penanganannya kurang
baik, serta masa simpannya relatif singkat. Untuk menangani masalah tersebut,
maka langkah yang paling tepat adalah dengan mengawetkan susu untuk
memperpanjang masa simpannya.
Kerapatan susu bervariasi antara 1,0260-1,0320 pada
suhu 200C. Adanya perbedaan kerapatan pada masing-masing susu
disebabkan karena perbedaan kandungan lemak dan zat-zat padat bukan lemak yang
ada di dalam susu. Derajat keasaman (pH) susu segar berada diantara pH 6,6-6,8
biasanya hal ini pH susu akan menurun. Apabila pH susu diatas pH 6,6-6,8
biasanya hal ini disebabkan karena adanya penyakit pada sapi yang menyebabkan
terjadinya perubahan keseimbangan mineral di dalam susu.
Susu normal berwarna putih kekuningan, variasi warna
pada susu disebabkan karena adanya perbedaan pakan yang diberikan pada sapi dan
karena faktor keturunan. Cita rasa agak manis pada susu berasal dari laktosa,
sedangkan rasa asin dari klorida. Pengumpulan merupakan sifat paling khas pada
susu biasanya disebabkan karena kerja enzim proteolitik.
Denaturasi merupakan suatu perubahan atau modifikasi
terhadap struktur sekunder, tersier, dan kuartener terhadap molekul protein,
tanpa terjadinya pemecahan ikatan kovalen. Suatu protein dikatakan
terdenaturasi apabila susunan ruang atau rantai polipeptida suatu molekul
protein mengalami perubahan. Ada dua macam denaturasi yaitu : pengembangan
rantai peptida dan pemecahan protein menjadi unit yang lebih kecil tanpa
disertai pengembangan molekul.
Lemak merupakan komponen susu yang penting seperti
halnya protein. Lemak terdapat di dalam susu dalam bentuk butiran lemak.
Biasanya terdapat kira-kira 1000x106 butiran lemakdalam setiap ml
susu. Keadaan lemak ini menyebabkan susu mudah dan cepat menyerap flavor asing.
Kira-kira 98-99% dari lemak susu yang terbentuk trigleserida, dimana tiga
molekul asam lemak diesterifikasi terhadap gliserol. Monogliserida terdiri dari
satu atau dua asam lemak yang dihubungkan pada gliserol dan jumlahnya didalam
susu dapat mencapai kira-kira 0,5% digliserida dan 0,04% monogliserida. Sekurang-kurangnya
50 macam asam lemak yang berbeda telah ditemukan dalam lemak susu dimana 6—75%
bersifat jenuh, 25-30% tidak jenuh, dan sekitar 4% asam lemak polyunsatured. Asam lemak yang terdapat
paling banyak adalah miristat (C14), palmitat (C16), dan steatat (C18).
Sedangkan asam lemak tak jenuh yang utama adalah oleat (C18) linoleat (C6) juga
terdapat dalam jumlah kecil sebagai triligserida. Kerusakan terjadi pada lemak
susu merupakan penyebab dari berbagai perkembangan flavour yang menyimpang dalam
produk-produk susu.
Rata-rata kandungan protein susu sapi penelitian
antara perlakuan t0, t1 dan t2 masing-masing sebesar 0,214; 0,267 dan 0,292 kg
L-1. Selisih rata-rata kandungan protein susu antara t0 dengan t1 sebesar 0,053
kg, antara t0 dengan t2 sebesar 0,078 kg dan antara t1 dengan t2 sebesar 0,025
kg. Kandungan protein susu yang tidak berbeda nyata ini disebabkan oleh
pemberian katu pada level 0,03 dan 0,05 % BB belum mampu memberikan kontribusi
yang cukup terhadap peningkatan komposisi zat gizi ransum terutama konsumsi
protein kasar (PK) ransum sehingga respon semua perlakuan terhadap kandungan
protein susu juga relatif sama. Rata-rata konsumsi PK ransum yang diujicobakan
untuk perlakuan t0, t1 dan t2 relatif sama yaitu 1,36; 1,44 dan 1,58 kg per ekor
per hari. Protein ransum yang dikonsumsi sapi perah tersebut diduga di dalam
rumen dipecah menjadi protein murni dan Non Protein Nitrogen (NPN).
Protein murni secara hitungan pada perlakuan t0, t1
dan t2 yaitu 1,66; 1,22 dan 1,34 kg per ekor per hari. Protein murni yang
diekskresi melalui feses dan urin pada perlakuan t0, t1 dan t2 sebesar 0,59;
0,74 dan 0,59 kg per ekor per hari. Protein murni yang dihasilkan dari PK
ransum yang dikonsumsi apabila dikurangi oleh protein murni yang diekskresi
melalui feses dan urin, maka akan diperoleh retensi protein pada perlakuan t0,
t1 dan t2 sebesar 0,57; 0,48 dan 0,75 kg per ekor per hari. Konsumsi PK ransum
antar sapi perlakuan telah menyebabkan terjadinya retensi protein sehingga
dapat dikatakan bahwa sapi antar perlakuan telah terpenuhi kebutuhannya. Adanya
retensi protein dalam tubuh ternak mengindikasikan bahwa ternak tersebut telah
tercukupi kebutuhan proteinnya (Macrae dan Reeds, 1980). Meningkatnya retensi
protein disebabkan karena konsumsi protein yang lebih dari kebutuhan (Boorman,
1980). Sapi yang sedang laktasi akan selalu mensekresikan protein susu sehingga
sekresi ini akan mempengaruhi atau membatasi peningkatan jaringan tubuh sebagai
retensi protein netto (Macrae dan Reeds, 1980). Protein yang teretensi di dalam
tubuh sapi perah akan digunakan untuk produksi susu dan pertumbuhan jaringan
tubuh (Boorman, 1980). Besarnya retensi protein juga dipengaruhi oleh sintesis
susu (Oldham, 1994).
Katu (Sauropus
androgynus) bisa dijadikan alternatif sebagai suplemen ransum dalam rangka
meningkatkan produktivitas susu sapi perah. Katu mengandung beberapa zat kimia,
antara lain : asam 17-ketosteroid androstan 17 one 3-ethyl-hydroxy-5 alpha
(androstan) yang berfungsi untuk pembentukan hormon estrogen yang berperan dalam
pemnajangan sistem saluran, hormon progesteron berfungsi untuk meningkatkan
(pembentukan) jumlah percabangan sistem saluran. Dan hormon laktogen plasenta
berperan untuk meningkatkan jumlah sel epitel. Kandungan kimia lain katu adalah
asam 3-4 dimethyl-2-oxocyclopenthyl 3-enylacetate yang berperan dalam
meningkatkan kinerja mikroba rumen sehingga dapat meningkatkan VFA. Dengan
meningkatnya VFA maka asam asetat, asam propionat dan asam bitirat akan
meningkat pula. Asam butirat dan asam asetat digunakan sebagai bahan sintesis
susu dan asam propionat pada proses gluconeogenesis di hati akan diubah menjadi
glukosa, dan glukosa akan diubah menjadi laktosa susu yang akan mengikat air
didalam susu, sehingga produksi susu juga bisa meningkat.
Pada ransum memberikan pengaruh yang nyata terhadap
perkembangan mokroba cairan rumen sapi laktasi dan ada perbedaan yang nyata
antar rata-rata perlakuan. Rendahnya rata-rata perlakuan disebabkan pemberian
katu dengan kadar 0,04% BB diduga zat anti bakteri yang terkandung didalam katu
sudah meracuni mikroba tertentu yang ada, hal ini sesuai hasil penelitian
santoso et al. (2001), bahwa katu
mengandung senyawa anti bakteri. Seperti dikatakan Piliang dan Djojosoebagio
(1991) bahwa nilai biologis protein merupakan indeks kualitas protein yang
berasal dari makanan, mencerminkan presentase protein yang diabsorbsi, semakin
besar perbandingan protein yang tinggal dalam tubuh makin besar nilai biologis
atau kualitas protein, yang berarti kemanfaatan protein yang terserap lebih
tinggi.
Efisiensi produksi susu merupakan perbandingan
antara energi yang terkandung dalam susu dengan energi yang terkandung didalam
pakan. Rendahnya efisiensi produksi juga diduga disebabkan oleh rendahnya
energi yang terkandung di dalam susu. Rendahnya energi yang terkandung didalam
susu disebabkan rendahnya kandungan lemak susu, sebab lemak merupakan suatu
senyawa yang mengandung energi cukup tinggi.
Efisiensi produk diukur dengan membandingkan
produksi energi dalam susu dengan kebutuhan energi dalam susu dengan kebutuhan
energi pakan. Semakin tinggi nilai perbandingan tersebut menunjukkan semakin
tinggi efisiensi produksi dari ternak yang bersangkutan. Maka dari itu
efisiensi produksi menjadi penting sebab sebuah teknologi akan layak diterapkan
kalau tingkat efisiensinya memadai. Dikatakan lebih lanjut bahwa efisiensi
produksi sapi perah berkisar 28-34%.
Faktor lain yang mempengaruhi rendahnya efisiensi
produksi adalah faktor iklim tropis yang lebih panas, dimana iklim sangat besar
pengaruhnya terhadap sistem metabolisme tubuh dalam metabolisme substrat pakan
menjadi produksi susu. Di daerah tropis ternak justru lebih banyak kehilangan
energi metabolisme tubuh yang hanya digunakan untuk mempertahankan sistem heat
increament yakni untuk menyesuaikan temperatur tubuh dengan lingkungan yang
selalu berubah ubah, yang sebenarnya energi tersebut dapat dimanfaatkan atau
dikonversi untuk menambah produksi air susu (Blakely dan Bade, 1994).
BAB
V
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pemberian tepung katu atau (Sauropus androgynus (L.)
Merr sampai taraf 0,05 % dari bobot badan sapi perah Friesian Holstein dengan
kriteria tahun laktasi kedua, bulan laktasi keenam dengan bobot badan rata-rata
436±48,67 kg serta rata-rata produksi susu 8,86±1,20 liter tidak mempengaruhi
konsumsi bahan kering ransum dan kandungan protein susu. Pada penambahan katu
dengan aras berbeda sampai dengan 0,04% BB pada ransum sapi laktasi dapat
meningkatkan efektivitas kinerja mikroba rumen, tetapi tidak mempengaruhi
efisiensi penggunaan pakan untuk meningkatkan efisiensi produksi susu.
DAFTAR
PUSTAKA
Arora
SP (1989) Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Diterjemahkan: Murwani R. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Bondi
AA (1987) Animal Nutrition. John Wiley & Sons, Chichester.
Boorman
KN (1980) Dietary Constrains on Nitrogen Retention Dalam: Buttery PJ, Lindsay
DB (Ed.) Protein Deposition in Animals. Butterworths, London.
Hanafiah
KA (1994) Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. PT. Raja Gramafindo Persada, Jakarta.
Macrae
JC, Reeds PJ (1980) Prediction of Protein Deposition in Ruminant Dalam: P.J.
Buttery dan D.B. Lindsay (Ed.) Protein Deposition in Animals. Butterworths,
London.
Oldham
JD (1994) Amino Acid Nutrition of The Dairy Cow Dalam: D’Mello JPF (Ed.) Amino
Acid in Farm Animal Nutrition. CAB International, London.
Parakkasi
A (1999) Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta.
Santosa
SO, Hasanah M, Yuliani S, Setiawati A, Mariana Y, Handoko T, Risfaheri, Anggraeni,
Suprayogi A, Kusumorini N, Winarno W (1997) Production of medicine product from
katuk’s leaves (Sauropus androgynus (L) Merr) to increase the secretion and
quality of breast milk. Integrated Priorities Research.
Soebarinoto
S, Chuzaemi, Mashudi (1991) Ilmu Gizi Ruminansia. Universitas Brawijaya,
Malang.
Suprayogi
A (2000) Studies on The Biological Effect of Sauropus androgynus (L) Merr:
Effect on Milk Production and The Possibilities of Induced Pulmonary Disorder
on Lactating Sheep. Disertasi. Cuvilier Verlag, Göttingen.